Wednesday, 3 July 2013

BBM Naik, Si Miskin Makin Bertambah


Pengalaman ketika harga BBM naik pada tahun 2005 sebanyak dua kali yaitu pada 1 Maret dan 1 Oktober, laju inflasi menembus 17,11% dan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras turut melambung sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun saat itu. Tingkat kesejahteraan mereka pun terkoreksi cukup dalam.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), keputusan menaikkan harga BBM pada 2005 itu telah menyebabkan 4,2 juta orang terjerembab ke dalam jurang kemiskinan. Mereka yang jatuh miskin adalah penduduk hampir miskin (near poor) dengan tingkat kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.

Ini menggambarkan fenomena lonjakan penduduk miskin tersebut  merupakan konsekuensi dari karakteristik kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang rentan untuk jatuh miskin jika terjadi guncangan dalam perekonomian nasional. Artinya, kondisi kemiskinan mereka semakin parah sesuai kenaikan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index).

Fenomena serupa mungkin saja terulang kembali jika pemerintah menaikkan harga BBM terhitung mulai awal Mei 2013. Keputusan ini diperkirakan juga bakal memberikan pukulan telak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat yang tingkat kesejahteraannya pas-pasan, sehingga jumlah penduduk miskin diprediksi bakal bertambah.

Kalaupun jumlah penduduk miskin bertambah, tentu kita berharap kondisinya tidak separah tahun 2005. Dan, belajar pada pengalamaan saat itu, sedikitnya ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah untuk “mengendalikan” kenaikan jumlah penduduk miskin akibat dampak kenaikan harga BBM, melalui pengelolaan inflasi dan menjaga stabilitas daya beli penduduk kategori “hampir miskin”.

Karena itu, pemerintah harus mampu menjamin mengelola inflasi dengan baik (manageable). Kenaikan harga BBM jangan sampai mengerek inflasi hingga melampaui ekspektasi inflasi pada APBN 2013 yang ditargetkan sebesar 5%.

Pemerintah harus ekstra kerja keras mewaspadai inflasi yang digerakkan oleh pengaruh kenaikan harga bahan pangan terutama beras, mengingat sebagian besar pengeluaran penduduk miskin dan hampir miskin dihabiskan untuk membeli beras, dimana proporsinya mencapai 70% dari total pengeluaran mereka.

Di sisi lain, walau tidak populer dan mau tidak mau harus diambil oleh pemerintah, adalah pemberian bantuan langsung tunai (BLT). Terlepas dari berbagai pro dan kontra, pengalaman 2005 menunjukkan bahwa pemberian BLT cukup efektif untuk meredam kian memburuknya kondisi kemiskinan akibat kenaikan harga BBM. Jika saat itu tidak ada BLT, dapat dipastikan kondisi kemiskinan pada 2005 akan lebih buruk dari yang dilaporkan pemerintah.

Kita menyadari program darurat seperti BLT konteksnya memang tidak dirancang untuk jangka panjang. Program seperti ini hanya bertujuan untuk menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir miskin dari gempuran inflasi, akibat shock dalam guncangan perekonomian pada jangka pendek.
Akhirnya, terlepas dari apapun alasan yang disampaikan pemerintah sehingga harus terpaksa menaikkan harga BBM, dalam jangka panjang harus terus menerus diupayakan agar kondisi seperti ini tidak terus berulang. Negeri ini harus lepas dari ketergantungan terhadap BBM bersubsidi. Karena disadari atau tidak, selalu ada ongkos politik dan ekonomi dari tarik ulur keputusan menaikkan harga BBM. Kondisi seperti ini harus segera diakhiri. 



Sumber : neraca