Thursday 11 July 2013

Fenomena kenakalan anak


Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum muslimin.

Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak. Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil….

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki keadaan mereka?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS. al-Mulk: 14).

Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak mereka.

Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).
Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).”
Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?


sumber di ambil dari/oleh  :   

Ustadz Abdullah Taslim. MA/abufahmiabdullah.wordpress.com